Legenda Kisah Terjadinya Beberapa Desa di Kecamatan Kaloran

Posted by Unknown 0 komentar

Sejarah


 
Pada kala itu prabu Brawijaya ke-5 yang tidak lain adalah raja terakhir dari kerajaan Majapahit diserang oleh Adipati dari Kadipaten Demak yang bernama Raden Patah. Raden Patah adalah salah satu putra dari Prabu Brawijaya ke-5 tersebut. Penyebab peperangan masih simpang siur ada yang menyebut perang karena agama ada pula yang menyebut perang tersebut karena untuk memperebutkan hegomoni sebagai penerus Majapahit..
 
Prabu Brawijaya mempunyai putra sebanyak 117 orang yang pada waktu itu sebagian besar masih berada dalam lingkungan keraton Majapahit. Dengan terjadinya perang tersebut maka para pangeran/putra-putra yang masih ada dalam lingkungan istana menjadi terpisah dan tercerai berai meninggalkan istana, ada yang ke pulau Bali, ke Banten, Cirebon, dan juga tersebar di Pulau Jawa termasuk ke Mataram.
Setiap pangeran dikawal oleh para prajurit. Begitu juga denagn Pangeran Djoko Dander putra ke-33 Prabu Brawijaya. Pangeran Djoko Dander disebut juga sebagai Pangeran Damiaking. Pangeran Djoko Dander/Damiaking juga meninggalkan kerajaan Majapahit dan  terpisah dengan keluarga lainnya. beserta dua orang putra laki-lakinya lengkap dengan pengawalnya. Adapun kedua putra kakak beradik itu bernama Pangeran Secogati dan Pangeran Trenggono Kusumo juga disebut Pangeran Mahesa Duk.
 
           Pangeran Djoko Dander/Damiaking deserta dua orang putra dan rombongan tersesat di dalam hutan Sapuangin. Karena lebatnya hutan itu maka terjadilah perpisahan antara rombongan ayah dan rombongan putra, tetapi semua satu tujuan yaitu ke Mataram.
            Pangeran Secogati dan Pangeran trenggono dapat keluar dari hutan Sapuangin setelah menuju ke arah selatan dan berhenti di sebelah selatan  lereng hutan Sapuangin, karena lelahnya maka diperintahkan untuk beristirahat. Maka diperintahkan membuat pondasi atau baturan rumah di lereng tersebut. Karena memang keadaan medannya tersebut aman, sukar diketahui musuh dari segala arah.
           Setelah beberapa lama tinggal di lereng Sapuangin dan diperkirakan keadaan sudah aman maka kakak beradik sepakat melanjutkan perjalanan ke Mataram menyusul ayahnya Pangeran Djoko Dander/Damiaking, dan disinilah awal kisah terjadinya Desa Kaloran.
            Kedua kakak beradik berkemas-kemas meninggalkan pesanggrahan tersebut. Sebelum berangkat dikumpulkanlah para pengawal dan sang adik, bersabdalah Pangeran secogati. Titahnya : Tempat pesanggrahan yang akan kita tinggalkan ini besuk kalau sampai kepada zaman yang sudah baik jadilah sebuah desa BATUR karena disinilah kita terpisah dengan Kanjeng Romo kita dan telah bebatur disini, marilah kita melanjutkan perjalanan!
            Pangeran Secogati beserta pengawalnya berangkat dan berjalan kearah selatan dalam rangka menyusul ayahanda ke Mataram. Rombongan itu berjalan terlebih dahulu tidak bersama-sama rombongan sang adik Pangeran Trenggono Kusumo. Kira-kira berjalan antara 300/400 meter rombongan tersebut berhenti sejenak menoleh  ke belakang dengan maksud ingin mengetahui apakah sang adik dan pengawalnya sudah kelihatan. Seperti di ketahui bahwa lereng Sapu angin sebelah selatan terutama memang tidak ada yang datar, medannya bertebing dan banyak parit serta berliku-liku jalannya. Setelah dinantikan beberapa saat sang adik tidak kelihatan dan bersabdalah pangeran(dalam bahasa Jawa): ”He para kanca besuk yen tekan rejehing jaman panggonan iki dadio desa lan dak jenengi desa TOLEH, sebab nalika ingsun mandheg ngenteni adhimas, aku noleh ngalor”.
Perjalanan yang sulit dan sukar melalui tebing-tebing dan jurang menurun sangat lambat. Semuanya kelelahan dan berhentilah mereka di suatu tempat sambil melepaskan lelah dan menantikan rombongan Pangeran Trenggono Kusumo. Setelah dinantikan tidak kunjung datang maka berangkatlah mereka dan bersabdalah Pangeran Secogati : ”Dianti-anti kok ora ana mula besuk yen tekan jaman kang becik, panggonan iki dadia desa lan dak jenengi desa Antiyono (TIYONO)”.
            Berjalanlah mereka ke arah barat, karena arah selatan terhalang sungai dan jurang. Setelah menyeberangi sungai sampailah mereka ke tempat yang agak datar. Pangeran Secogati hatinya gundah karena adiknya belum juga menyusul dalam bahasa jawa ”melang-melang”, lalu bersabdalah beliau: "Ingsun kok Sumelang, mbok-mbok adhimas kecekel mungsuh, banjur kepiye? Mula ayo padha neruske laku, nggolek papan kang juwero, papan kang dhuwur ben weruhkiwa tengen, mulo besuk tekan rejehing jaman panggonan iki dadia desa lan dak jenengi desa Sumelang (SEMALANG)’.
            Perjalanan terus naik kearah barat, mencari tempat setinggi mungkin supaya bisa melihat rombongan adik dari jauh, dan sampailah ditempat yang tinggi. Di tempat tersebut pangeran secogati terus mengawasi rombongan adiknya yang belum kelihatan. Lama kelamaan mereka juga merasa khawatir. Maka berlindunglah semua rombongan itu, dan berangkatlah mereka kearah selatan. Sebelum berangkat bersabdalah pangeran Secogati: ”Para kanca rehning anggo kita ndhelik ngenteni adhimas ana kene iki panggonan iki besuk dadia desa lan dak jenengi desa nDELIK’.
            Pangeran Secogati meneruskan perjalanan kearah selatan dan sampailah pada sebuah lereng bukit. Sebelum menyeberangi sungai berhentilah sambil melepaskan lelah beristirahat sebentar. Pada waktu istirahat Pangeran Secogati berkata kepada para pengawalnya; ”Demikianlah saudara-saudara, sudah tak ada harapan lagi kita menemukan adik yang saya kasihi, perasaan hatiku mengatakan bahwa kini aku sudah sendirian, kalau dulu saya dan adik terpisah dengan ayahanda, maka sekarang aku sendirian berpisah dengan dinda Mahesa Duk, semoga mereka dalam keadaan selamat”. Sebelum meneruskan perjalanan Pangeran Secogati berkata demikian: ”Para kanca wis cetha yen aku saiki wis ijen ora ketemu/bareng dhimas maneh, mula yen seksenana panggonan iki besuk yen tekan rejehing jaman dadia desa lan dak jenengi desa Ijen (MIJEN)”.
            
 Akhrinya  Pangeran Secogati melanjutkan perjalanan kearah selatan dan sampailah mereka pada suatu tempat yang membingungkan, mereka selalu berputar-putar setiap berjalan, selalu kembali ke tempat yang sudah dilalui. Berputar-putar karena merasa lelah akhirnya  Pangeran Secogati berhenti dan beristirahat dengan membuat pesanggrahan. Masih di dalam pesanggrahan beberapa hari maka pangeran bersabda lagi: ”Pesanggrahan kan kita enggoni iki dadia desa lan dak jenengi desa Mingger (MENGGOR) sebabkita teka keke iki klidheng mingger-mingger jebule tekan panggonan kang wis kita liwati maneh”.
            Kehidupan selama dalam pesanggrahan beberapa hari bahkan beberapa bulan, tiba-tiba ada sekelompok orang yang mengintai dan mengganggu ketenangan Pangeran Secogati tersebut. Akhirnya terjadilah perselisihan berbuntut peperangan antara kedua belah pihak dan berakhir dengan kemenangan Pangeran Secogati. Rombongan lawan itu kisahnya dipimpin oleh Ki Bawang, yang berdomisili sebelah barat sungai. Mereka punya tempat tinggal sebagai kedhatonnya, yang sampai sekarang tempat itu dinamai Kedhaton (sekarang menjadi ladang/alas). Karena pimpinan rombongan tersebut bernama Ki Bawang, maka desa yang sudah ditempati itu oleh Pangeran secogati diberi nama desa BAWANG. Dengan kekalahan Ki Bawang maka ada perjanjian sebagai berikut:
  1. Desa Bawang menjadi bawahan/dibawah perintah Pangeran Secogati.
  2. Penduduk desa tidak boleh berbesan (ora keno besanan) dengan orang mengor.
  3. Tiap-tiap ada orang yang meninggal dari penduduk desa Bawang harus dikuburkan di perkuburan Mengor yang sebelah bawah/barat.
Kehidupan rombongan Pangeran Secogati di Mengor agak lama. Dalam sabdanya Pangeran Secogati demikian; ”Saudar-saudarku saya pikir kita tidak perlu melanjutkan perjalanan ke Mataram, sebab kalau nanti kita sampai di Mataram tidak bersama Dhimas Trenggono Kusumo, pasti mendapat marah dari ayahanda. Dari sebab itu saya bermaksud menetap di sini sambil mencari sisik melik di mana letak Dhimas Mahesa Duk, mudah-mudahan besuk kalau sudah ditemukan kita dapat melanjutkan perjalanan ini. Dan alangkah baiknya mencari tempat yang lebih baik untuk membuat rumah tempat tinggal. Kemudian rombongan itu berjalan lagi ke arah utara mencari tempat yang baik untuk membuat rumah.
Dan diketemukan tanah yang agak datar dan luas, dan dibuatlah rumah untuk Pangeran Secogati dan di sekitarnya untuk para prajurit yang mengawalnya. Dan diperintahkannnya untuk menanam dua buah pohon pala dan dua buah pohon maja di depan rumah sebagai peringatan bahwa tempat tersebut berasal dari Majapahit.
Pangeran Secogati memberi nama semua daerah kekuasaannya itu sebab dari desa yang paling selatan berderetan ke utara (ngalor) adalah menjadi kekuasaannya. Jadi daerah
bawahannya Pangeran Secagati ialah dari Mengor berderet ke utara sampai Batur. Setelah menetap dan tinggal di Pesanggrahan baru, Pangeran Secagati bersabda: ”Kita wis manggon ana ing omah kang nembe kita bangun, tlatahku wiwit seka Mengor tekan Batur kang arahe mengalor ”NGALOR” dak jenengi tlatah ”KALORAN”. Lan pedaleman ingsun iki ya Krajaanku mula uga dak wenehi tetenger ”KRAJAN KALORAN”.
Dusun Krajan sekarang berubah menjadi dusun Kauman, perubahan ini belum lama kira-kira tahun 1940 masih banyak yang menyebut Krajan, hal ini mungkin disebabkan majunya atau banyaknya pemeluk agama Islam sehingga pada lazimnya tempat yang demikian disebut Kauman.Sumber dari buku Kisah Terjadinya Desa Kaloran oleh R. Soemardi Mangoen Soedarmo tahun 2002


Keranjang Tembakau Temanggung Harga Paling Murah

Artikel Terkait
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Legenda Kisah Terjadinya Beberapa Desa di Kecamatan Kaloran
Ditulis oleh Unknown
Tolong di share ke teman-teman ya,, artikel rating 5 dari 5.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://tani-temanggung.blogspot.com/2017/04/legenda-kisah-terjadinya-beberapa-desa.html. Terima kasih sudah singgah dan membaca artikel ini.

0 komentar:

Post a Comment

Template by Cara Membuat Email | Copyright of DINAMIKA HIDUP.